MENJADI MANUSIA MINIMALIS HAL DUNIA DAN MANUSIA MAKSIMALIS HAL AKHERAT
Oleh: Agus Abu Khansa, S.Pd.I


Tatkala berurusan dengan dunia, jadilah manusia minimalis dalam urusan dunia, namun perihal akherat maka jadilah manusia yang maksimal dalam amalan.

Sebagaimana baginda Rasulullah saw dalam menjalani kehidupannya sehari hari, tampak sederhana dan praktis, namun ketika bersentuhan dengan sisi-sisi ibadah dan akherat, beliau benar-benar bersungguh-sungguh.

diriwayatkan Muslim, Nasai, dan Turmudzi.
"Dari Aisyah RA berkata, 'Suatu hari, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menemui kami dan bertanya, 'apakah engkau punya makanan?' Kami menjawab, 'Tidak.' Kemudian beliau bersabda, 'Kalau begitu, saya akan puasa'."

Simpel dan sesederhana itulah kehidupan  Rasulullah saw. Tidak ada pengharapan besar dalam pelayanan kepada dirinya. Sekalipun beliau seorang Nabi, Rasulullah saw tidak meletakkan sesuatu yang berurusan dengan keluarganya begitu rumit dengan pengharapan yang tinggi dan seideal mungkin.

Terkait ini, Ibnu Athaillah menuliskan dalam bait hikmahnya
ليقلَّ ما تفرح به، يقلُّ ما تحزن عليه
Sedikit kebahagian akan sesuatu, sedikit pula kesedihanmu atasnya.

Bagaimana hidup ini dibawa begitu ringan dengan segala pernak perniknya. Kita sebagai orang tua sering meletakkan target tinggi pada anak dan keluarga kita. Mereka seolah sedini mungkin sudah harus perfect dalam hal kebaikan, sementara kita sampai pada pemahaman mencintai ibadah sunnah saja butuh diusia 40 tahun baru bisa mencintai, lalu kita paksa anak anak agar sudah merasakan kecintaan yang sama di usia dini.

Bagaimana santai dan ringannya Rasulullah saw dalam mendidik cucunya Hasan dan Hussain. Tidak ada narasi yang begitu ketat dalam mendidik beribadah kecuali pernah mengorek orek apa yang dimakan oleh Husain yang menemukan makanan karena Rasulullah saw menjaga agar ahli baitnya tidak makan sesuatu dari sedekah yang terlarang untuk keluarga beliau.

Adapun dalam menyikapi akherat, baginya Rasulullah saw bersungguh-sungguh dalam ibadah dan menggapai kerusakannya yang merupakan salah satu sikap yang sangat dianjurkan di dalam Islam. 

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 69)

Suatu hari, datanglah seorang sahabat yang tua renta lagi buta kepada Rasulullah SAW. Ia adalah Abdullah bin Ummi Maktum. Ia da tang meminta izin agar bisa ab sen menunaikan shalat berjamaah di masjid.

“Ya Rasulullah, setiap hari saya datang ke masjid bersama keponakan saya. Namun, sekarang dia sudah meninggal dan tidak ada lagi yang bisa menuntun saya ke masjid. Apakah boleh dengan uzur ini saya tidak ke masjid menunaikan shalat?” Tanya lelaki tua itu.

Rasulullah SAW terdiam mendengar kisahnya. “Wahai Abdullah, apakah eng kau mendengar azan?” tanya Beliau. Abdullah mengiyakan. Kendati rumahnya cukup jauh dari masjid, Abdullah masih mendengarkan Bilal mengumandangkan azan.

“Kalau begitu, engkau tetap harus datang ke masjid,” lanjut Rasulullah SAW. Beliau SAW paham dengan kondisi Abdullah, namun kewajiban tetaplah kewajiban yang harus dilaksanakan tanpa tawar-menawar.

Sebagian riwayat menyebutkan, dibentangkanlah tali dari rumah Abdullah menuju masjid. Tali itu menjadi penuntun jalan bagi Abdullah menuju ke masjid. Setiap hari, ia meraba-raba seraya berpegang kepada tali itu untuk datang ke masjid.

Suatu kali, Abdullah tersandung batu dan terjatuh. Pakaiannya pun kotor terkena lumpur dan berlumuran darah dari luka di kakinya. Ia pun segera pulang untuk mengganti baju dan membersihkan lukanya. Sesaat kemudian ia segera menuju masjid kembali.

Karena tergesa-gesa, Abdullah pun kembali terpeleset dan jatuh. Dengan hati kesal, ia pun kembali ke rumahnya untuk mengganti pakaiannya. Selanjutnya, untuk ketiga kalinya Abdullah segera kembali ke masjid.

Di tengah jalan, ia kembali terpeleset. Namun, dengan sigapnya ia segera ditangkap seorang pemuda. Tidak hanya itu, pemuda tersebut memapah Abdullah hingga sampai ke pintu masjid. Tentu saja ia sangat berterima kasih dengan bantuan si pemuda tersebut.

Herannya, si pemuda berjiwa pahlawan tadi tidak ikut bersama kaum Muslimin untuk menunaikan shalat di masjid. Ia hanya menunggu Abdullah di luar, kemudian mengantarkannya pulang ke rumah. Hal ini terulang beberapa kali pada hari berikutnya.

Abdullah pun menanyakan siapa pemuda yang telah menolongnya itu. Tentu saja Abdullah ingin mendoakan pemuda itu atas kebaikannya. Dan yang paling membuatnya penasaran, mengapa pula pemuda itu tidak ikut shalat di masjid bersamanya?

“Wahai Abdullah, tidak perlu engkau doakan aku dan tidak perlu engkau tahu siapa namaku. Aku adalah iblis,” tegas si pemuda itu.

Abdullah kaget. Ternyata yang biasa menuntunnya ke masjid adalah sesosok iblis. “Lalu mengapa engkau menuntunku ke masjid, sedangkan engkau iblis yang menghalangi manusia mengerjakan shalat?” tanya Abdullah.

Iblis itu akhirnya berkisah. “Saat engkau terjatuh ketika hendak ke masjid, aku mendengar ucapan malaikat bahwa Allah telah mengampuni dosamu. Ketika engkau jatuh kali kedua, aku mendengar bahwa Allah telah mengampuni dosa keluargamu.

Aku takut, jika engkau terjatuh lagi, Allah akan mengampuni dosa orang-orang di sekitarmu,” kisah si Iblis. Itulah alasan yang membuat Iblis terpaksa membantu Ab dullah ke masjid dan pulang ke rumahnya agar tidak terjatuh lagi.

Itulah Abdullah bin Ummi Maktum yang karena kesungguhannya telah membuat iblis terpaksa melayani dan membantunya menunaikan ibadah. Abdullah hanya seorang laki-laki tua yang renta.

Ia tinggal sebatang kara. Ia juga buta sehingga sangat susah melakukan aktivitas sehari-hari. Namun, segala kekurangan yang dimilikinya tak membuatnya manja menjalankan syariat Allah SWT.

Lihatlah kesungguhannya, ia tetap bertekad datang ke masjid kendati tak bisa melihat dan sering terjatuh. Ia tak ingin melewatkan syariat yang telah diperintahkan Allah SWT.

Lantas bagaimana dengan kebanyakan umat Islam saat ini yang masih bertubuh muda, tegap, dan kuat? Sering kali tubuh yang tegap dan kuat itu lalai menunaikan kewajibannya untuk menyembah Allah SWT. Ada saja alasan yang dibuat-buat untuk tidak ke masjid dan mengulur-ulur waktu shalat.

Tidak malukah tubuh yang tegap dan kuat itu kepada Abdullah bin Ummi Maktum? Masihkah tubuh yang tegap dan kuat itu mengaku beriman kepada Allah SWT? Dengan percaya diri, tubuh yang tegap dan kuat itu memproklamirkan diri nya sebagai orang saleh atau pejuang agama Allah SWT. Padahal, untuk me menuhi imbauan azan saja ia tak mampu.

Banyak orang yang kuat mengangkat beban yang sangat berat, namun mereka tak kuat mengangkat selimutnya untuk menunaikan shalat Subuh. Banyak orang yang kuat berlari berpuluh-puluh kilometer, namun mereka yang kuat melang kahkan kaki beberapa meter untuk menunaikan shalat di masjid.

Orang yang malas dan lamban untuk beribadah, maka keberkahan dan rahmat Allah SWT juga lamban untuk datang meng hampirinya. Ingatlah fi rman Allah SWT, “Sesungguhnya Allah tak akan mengubah nasib suatu kaum, sampai ia bertekad untuk mau mengubahnya.” (QS ar-Ra’d [13]: 11).

Tunjukkan terlebih dahulu kesungguhan dan kesalehanmu dalam beribadah. Perlihatkan bahwa dirimu adalah hamba- Nya yang taat dan saleh. Setelah itu, barulah hidayah dan berkah Allah SWT akan turun kepada hamba-Nya

Wallahu a'lam musta'an

Comments